Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

Muslimin Kecil

Silaturahmi saat lebaran. Anak-anak melihat, mengingat, dan membudayakan.

Selama beberapa hari ini, saya merasa akrab dengan sosok berbadan mungil di Musholla Nurul Jannah. Seorang anak laki-laki kecil dengan muka inccocent yang hari ini, seperti biasa, duduk di dekat pintu musholla. Dia adalah tamu Alloh yang ketiga disubuh ini. Spesial. Karena dia masih kecil, umurnya sekitar 7-8 tahun. Dan dia berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah pada salah satu dari dua waktu sholat yang tersulit, sholat subuh.

Wajahnya tidak menunjukkan bahwa dia mengantuk berat, dia sudah benar-benar sadar. Entah siapa yang membangunkannya, dan entah siapa yang mengajaknya ke mushola. Sepertinya dia warga baru di komplek ini, wajahnya asing. Yang saya tau dr dia, dia spesial.

Sangat penting untuk menanamkan nilai agama sejak dari kecil. Bukan hanya diberi tahu dan diajarkan, tapi disadarkan tentang kehidupan sebagai seorang muslim. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang arab (muslim), betawi, aceh, dan minang.

Walau masih kecil, anak-anak kecil arab sudah mampu menunjukkan identitasnya sebagai muslim. Dia tau islam itu apa, dan bagaimana seorang muslim itu hidup. Islam diajarkan dalam semua aspek kehidupan. Berdoa sebelum makan, doanya apa, bagaimana sunnahnya makan. Sehingga tak heran jika untuk sebagian orang arab, islam adalah budaya. Sehingga kadang sulit membedakan mana yang budaya arab, dan mana yang budaya islam.

Teringat sebuah quote dari serial Bajaj Bajuri, sebuah quote yang mengharukan sekaligus menampar.
“Sejahat-jahatnya orang betawi, kecilnya dulu pernah ngaji!”
Ngaji seolah sudah menjadi bagian dari siklus hidup orang betawi. Ajaran islam yang tertanam kuat dan menjadi budaya. Pun demikian dengan ‘budaya’ naik haji mereka. Orang betawi rela jadi miskin demi naik haji. Semua harta dijual untuk dapat ‘bertamu’ ke rumah Alloh. Sebuah semangat ‘kesukuan’ yang seolah eksklusif hanya dimiliki oleh orang betawi.

Demikian pula dengan orang-orang aceh dan minang. Begitu kentalnya nuansa islam dalam budaya mereka, sulit dibedakan antara mana yang budaya asli dan mana yang dari islam. Sebagai orang jawa, saya bangga sebangsa dan senegara dengan mereka. :’)

Islam Is Way Of Life

Dalam sebuah gambar yang saya download, tertulis sebuah pesan yang cukup menohok bagi saya.
“Islam is a way of life, not a way of death.”
Astagfirullohhh.... Quote tersebut benar adanya. Islam sebagai ‘way of death’ memang tidak salah, tapi menurut saya lebih benar bila memperlakukan Islam sebagai ‘way of life’. Alloh melalui quran dan hadist rasul-Nya telah memberi tahu tata cara hidup seorang muslim. Bagaimana seorang muslim hidup dalam keislamannya, mulai dari bayi hingga meninggal, dari pagi hingga pagi lagi. Semua petunjuk hidup seorang muslim disampaikan dengan lengkap. Sebaliknya, Alloh hanya menceritakan bagaimana sebuah kematian, kehidupan setelahnya, namun tidak menjelaskan bagaimana kita harus ‘hidup’ di dalam alam kematian.

Dalam budaya lokal, diajarkan bagaimana cara hidup seseorang. Misalnya cara memelihara kerbau, cara merayakan kelahiran bayi, cara merawat luka, cara berbicara, dan lain-lain. Semua budaya ini dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan sejak masa kecil. Yang kemudian tertanam kuat hingga dewasa. Pun demikian dengan islam. Islam mengatur hidup seorang muslim, budaya yang ditanamkam melalui kebiasaan-kebiasaan, sebuah ‘way of life’.

Lebih Awal Lebih Baik

Kembali ke cerita anak kecil tadi. Dari sini dapat kita lihat bagaimana orang tua anak tersebut mendidik anaknya agar ‘membudayakan’ sholat subuh berjamaah. Agar kelak ketika dia dewasa dan hingga tua, dia terbiasa dengan sholat subuh berjamaah di masjid.
Kenapa mesti berjamaah? Selain karena wajib, sholat berjamaah juga berperan penting dalam ‘penyadaran’ identitas, supaya anak tersebut lebih ‘ngeh’ dan lebih nampol efeknya. Seperti orang jawa yang tinggal bersama orang jawa lainnya, anak-anak jawa akan melihat dan meniru setiap kegiatan dari masyarakatnya, yang juga merupakan pembentukan identitas dirinya. Penting untuk menanamkan bahwa ‘Ini bukan cuma kami, tapi juga kamu dan kita’ kepada anak-anak. Pengenalan kehidupan masyarakat akan me-mindset-kan ‘inilah kita dan beginilah kita hidup’. Pembiasaan dan pengenalan seperti ini akan menjadi sesuatu yang tertanam kuat dalam ingatan dan membentuk mindset sebagai seorang muslim.

Seperti halnya saya, dulu emak mengenalkan saya pada budaya ‘mengaji’ di kampung saya. Selain belajar membaca quran, identitas saya sebagai muslim jga terbentuk. Bahwa saya sebagai seorang muslim harus bisa membaca kitab suci islam dalam bahasa arab, tahu artinya, memahami isinya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi yang saya dapatkan bukan hanya ‘bisa ngaji’ tapi juga budaya islam berupa mengaji. Saat ini, saya akan merasa aneh jika sebagai seorang muslim saya tidak ‘akrab’ dengan kitab suci saya. Demikian juga kelak jika keluarga saya tidak ‘akrab’ dengan quran.
Demikian halnya dengan sholat. Orang yang terbiasa (baca: berbudaya) sholat tepat waktu akan merasa risih dan janggal jika tidak segera sholat saat adzan berkumandang. Kebiasaan dan mindset yang terbentuk saat anak-anak akan terasa lebih ‘menancap’.

Budaya-budaya yang berbeda memang biasanya akan ‘bertarung’ dan saling mengalahkan. Namun apa yang tertanam kuat tidak akan mudah tergoyahkan. Masa kanak-kakak adalah salah satu tahap penting dalam pembentukan identitas, sudah selayaknya agar masyarakat muslim kita tidak menyia-nyiakan tahap ini.

Miko
Ceger Raya, 30 Oktober 2011.

Gue, Juventus, dan ‘Sepertiga Malam yang Terakhir’

Well done Mr. Conte

Malam ini, pukul 1.45 WIB Juventus bertanding lawan Iler-Merda. Sebagai Juventini yang unyu, gw mesti bela-belain buat bangun. Juve meennn... Ya masa gw kagak nonton sik. Klo gw gak nonton, trus apa bedanya antara gw ama rumput yang bergoyang tertiup angin. (Jaka sembung deh mik)

Setelah terlena oleh EPL, trus dilanjutin belajar buat ujian (tetep yah, menebar #psywar. Muahahah....) akhirnya gw tidur jam 12.00 lebih dikit. Alarm dipasang jam 2.00 WIB, telat 15 menitan dari jadwal ‘manggung’-nya Juve. Dua jam kemudian, dengan sedikit nge-fly, gw matiin alarm yang menyenandungkan Last Friday Night. Karena baru bangun, otak gw nge-hang, goleran lagi, mau tidur lagi. Untung segera sadar dan segera mengambil remote buat nyalain TV.

TV nyala. Son of a beach!!! Udah 0 – 1, Vucinic ngegolin di menit ke-7. Gak liat goalnya. *bershower*

Singkat cerita, gw nonton pertandingan, membanjiri twitter dengan twit-twit sampah, RT ini itu, reply sana-sini, pokoknya sibuk banget lah. Untung pake laptop, jadi jari gw kagak pegel-pegel amat.

Half Time. Pertandingan jeda 15 menit. It’s Alloh’s time. Gw ambil wudhu, sholat 2 x 3 rakaat. Sengaja, 2 rakaat lagi n sholat witir diakhirkan. Nunggu pertandingan selesai. :D

Juventus menang 2 – 1. Bukan menang biasa, menang lawan Iler, musuh dunia-akherat. Berapapun skornya, menang lawan Merda selalu spesial. Oke, fokus!

Syukurku Pada-Mu

Dalam sujud, gw mengucap syukur kepada Alloh atas nikmat berupa kemenangan Juventus. Juventus menang itu hal yang spesial, bikin gw sumringah seharian, bahkan sampai pertandingan berikutnya. Ini nikmat berupa kebahagiaan dari Alloh. Nikmat yang selalu terlewatkan untuk disyukuri. Klo seseorang dapet duit, lulus ujian D4, dapet hadiah, sembuh dari sakit, biasanya suka bersyukur. Tapi orang-orang (termasuk gw) jarang bersyukur atas kebahagiaan. Padahal bersyukur itu mudah, cukup ucapkan ‘alhamdulillah’ dengan kesadaran. Maksudnya, gak cuma di bibir, tapi kita meresapi ‘alhamdulillah’ tersebut.

Moment lain. Biasanya di jam kantor gw partychat-an ama temen2 genk motor. They are so funny. Bales2an kata, bully2an, dan ng-emote yang lucu2. It is really makes me happy. Dan saat gw cekikikan menahan tawa, gw selipkan ‘Ya Alloh, terima kasih atas anugrah berupa temen2 yang lucu dan menghibur ini’.


Kebahagiaan lain yang juga sering terlupakan adalah bahagianya nikmat sehat. Emang sih, beda-beda tipis ama 'mensyukuri sehat', tapi ini beda, lebih ke perasaan. Seneng rasanya klo sehat, bisa nonton TV dengan nyaman, bisa olah raga, bisa ketawa-ketiwi dengan enak. Bahkan, klo lagi sakit tu bisa aja gt kangen ama kerja. Klo sakit serba gak enak, dijenguk temen emang seneng, tapi lebih seneng lagi bisa ngobrol dan bercanda dalam keadaan sehat. Makan makanan favorit dengan riang gembira, pergi kemana-mana dengan perasaan 'good mood'. Sehat itu membawa kebahagiaan, dan bahagia itu enak rasanya.

Bahagia adalah moment yang pantas dirayakan dengan syukur.

Juventus dan sepertiga malam yang terakhir

Ada rasa senang klo bisa melakukan ketaatan kepada Alloh. Ibadah ekstra dan gak cuma yang wajib-wajib aja. Seperti malam ini. Gw menyempatkan diri untuk ‘menghadap’ yang Maha Kuasa. Curhat, kenapa gitu gw belom dapet-dapet jodoh.

Oke, fokus!

Yang ‘mengkhawatirkan’ dari hal ini adalah, alasan gw bangun tengah malemnya. Terus terang gw klo tidur (agak) kebo banget, susah bangun. Tapi klo udah azzam, seringnya kesampean bangunnya. Seperti malam ini, gw udah niat banget mau nonton Juve. Begitu bangun, nyetel TV, langsung ‘alive’. Gak pake gliyengan n gegoleran dulu.

Gw bisa dengan ‘mudah’ bangun untuk Juventus, tapi kenapa susah banget bangun untuk Alloh?! Bahkan niat utama gw nonton Juve, sholat malam aja baru kepikiran waktu half time pertandingan. Sebagai seorang ‘kebo’, susah buat gw untuk bangun dan sholat 11 rakaat. Kalopun bangun, biasanya nunda-nunda, tidur-tiduran dulu, trus tidur beneran. Beda klo niatnya nonton Juve. Sepertinya gw emang harus mereformasi ulang cinta gw, jangan saling tumpang tindih, apalagi saling mengalahkan, klo bisa seiring sejalan kan bagus. :’)

Semoga lain kali gw bisa bangun untuk Alloh. Bisa bangun walaupun tanpa Juventus. #M1cKoH4rUsQuW4Dh

Ya Alloh, jangan sampai kecintaanku pada Juventus mengalahkan kecintaanku pada-Mu. :’(

Miko
Ceger Raya, 30 Oktober 2011.

Minggu, 09 Oktober 2011

Museum Sasmita Loka Ahmad Yani

Museum Sasmita Loka Ahmad Yani
Assalamualaikum...
Sebagai penggemar teori konspirasi, salah satu konspirasi lokal yang paling saya minati adalah pemberontakan pada G-30S/PKI dan dampak sistemiknya yaitu penerbitan Supersemar dan pergantian kekuasaan. Senang rasanya bila bisa menyempatkan waktu untuk bisa 'napak tilas' kejadian ini. Salah satunya dengan mengunjungi rumah dari jenderal tertinggi Angkatan Darat pada saat itu, Jenderal Ahmad Yani.

Kamis, 06 Oktober 2011

Ojo Dumeh

Assalamu'alaikum...

Once upon a time in Jakarta. Gw n temen gw hendak pergi ke suatu tempat, kami memutuskan untuk naik taksi. Kami naik taksi ‘burung biru’. Setelah naik teman saya menyebutkan destinasi kami. Sambil jalan, bapak supirnya bilang kalau dia ngga tau daerah tujuan yang temen gw sebutin. Seketika teman gw menghardik pak supir dengan (menurut gw) kasar. “Masa gak tau sih!!! Bla..bla...bla...” gw lupa kata2 berikutnya, tp gw inget banget klo temen gw itu ‘berlebihan’. Dan kemudian dia dengan angkuhnya membaca komik ditangannya. Tanpa rasa bersalah sekalipun. Pak supir tadi meminta maaf ama kami. Pernah liat ekspresi budak yang numpahin kuah opor ke baju Fir’aun? Nah, kira2 begitulah ekspresi bersalahnya.

Gw yang ‘shock’ dengan perlakuan temen gw cuma diem aja ngeliatin gesture temen gw yang suombongnya naudzubillah. Akhirnya temen gw ngasih tau arah dan jalan ke arah destinasi gw. Dan pak supir itupun (masih) dengan rasa bersalah mengantarkan kami.
Saat itu gw ngerti banget perasaan supirnya. Gw emang belom pernah numpahin kuah opor ke baju Fir’aun. Tapi gw pernah merasakan rasanya ‘dibawahi’ oleh orang yang ‘lebih’ dari gw. Gw juga pernah merasa tertindas.

Gw terlahir dari keluarga yang tidak berada. Gw besar di sebuah IDT, Inpres Desa Tertinggal. See? Namanya aja gak enak didengar, “desa tertinggal.” Sebuah nama yang kehinaannya berada 4 tingkat dibawah “Putri Yang Tertukar.”
Dengan mayoritas penduduknya yang bertani, kehidupan keluarga gw bisa dibilang lebih baik dari lingkungan kami. Bapak gw guru di desa tersebut. Tau gak apa nama desanya? Suka Merindu. Gw ulang. S-U-K-A M-E-R-I-N-D-U. Ini adalah nama desa paling galau yang pernah gw denger. Kebayang gak sih elo suka sama seseorang dan elo hanya bisa merindunya tanpa bisa memilikinya? Galau abeeessss!! Jadi ya wajar dong ya klo gw sekarang ...*uhuk*... suka galau. *Eaaa...*

Oke fokus!
Suatu hari, saat gw maen ama temen2 gw. Kami saling ejek satu dengan yang lainnya, biasa lah ya, anak kecil. Gw mengejek seorang temen yang tingkat ekonominya lebih kurang beruntung dr gw. Setiap dia maen, bajunya itu pasti ada bagian yang sobek, udah gitu buluk lagi. Nah, pas gw lagi ketawa-ketiwi ngejek dia, dia ngasih ‘counter attack’ yang akan gw kenang seumur hidup. “Iya sih yang orang kaya. Bajunya bagus2. Ngejek-ngejek orang gak punya.” Kira2 begitu kata-katanya. Gw langsung shock. Entah kenapa gw ngerasa super duper bersalah banget. Gw udah menghinakan seseorang, menganggap diri gw lebih baik dari orang lain. Gw cuma diem aja. Kami diem-dieman dan akhirnya bubar satu persatu.

Kejadian ini terjadi waktu gw masih kecil banget, belom masuk SD, masih imut, unyu, pokoknya gw berada di masa-masa dimana semua orang dewasa pengen nabok gw deh. Dan gw masih inget sampe sekarang. Kejadian ini mengajarkan gw untuk JANGAN PERNAH sombong/merendahkan orang lain orang lain. Walau secara kasat mata gw lebih baik darinya.

Emang gitu sih kenyataannya. Apasih yang bisa kita sombongin dari hidup? Kekayaan, ketampanan, kecerdasan, atau kedudukan? Semua itu bisa hilang dalam sekejap.

Dalam Islam, kita malah dilarang untuk sombong. Larangan yang sangat keras malah. Berikut ini hadist shahihnya,
Dari Abdullah Bin Mas’ud R.A. berkata:

“Rasululloh ‘alaihiwassalam bersabda “Tidak akan masuk ke dalam surga, seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji sawi sekalipun.”
H.R. Muslim

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, dan sombong tidak bisa menjadi bagian darinya. Sebenernya, sombong itu apa sih? Masih sambungan dari hadist diatas.

“Kesombongan itu menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain.”
H.R. Muslim

Nah, kembali ke cerita awal dan cerita gw. Dapat disimpulkan bahwa gw dan temen gw telah berbuat suatu kesombongan. (Astagfirullohhh...)

Kebetulan gw berada di lingkungan orang-orang yang tingkat ekonominya bagus. Dan diantara temen-temen gw, baik secara sadar atau tidak sadar telah berbuat suatu kesombongan terhadap manusia lainnya. Contoh waktu di kantor. Orang-orang pada ‘level gw’ kadang suka sombong (merendahkan) terhadap misalnya, OB, security, pedagang roti, atau orang-orang yang secara ekonomi berada di bawah levelnya.

Pernah suatu ketika, ada seorang ibu-ibu yang jualan bandeng presto dan lain-lain. Jangan tanya gw gimana tu ibu bisa lolos dari hadangan security di lobby, gw juga gak tau. Nah, pas ibu itu masuk ke ruangan gw, semua orang pada nyuekin gt, ibunya sama sekali gak diliat, dan belum sempet ibunya nawarin barang udah bilang “Gak bu.”
Gak kebayang klo itu nyokap gw. Gw bakal nangis berdarah-darah klo liat nyokap gw direndahkan gt. Emang apa susahnya sih bersikap sopan, tatap ibunya, senyum, dan bilang “Gak bu.” Karena menurut gw, menatap wajah ibunya dan senyum merupakan bentuk penghargaan akan keberadaannya. Giliran yang dateng orang berduit dan penampilannya parlente aja kita mau beramah-tamah. Apa sih bedanya ibu tadi dengan yang lainnya? Sama-sama manusia.

Jadi kesimpulannya. Jadi orang jangan suka merendahkan orang lain, walau secara kasat mata kita lebih baik darinya. Kita ini bangsa yang beradab dan beragama. Adab dan agama secara kompak mengajarkan bahwa kita harus saling menghargai. Merendahkan orang lain tidak akan membuat kita jadi tinggi. Malah akan membuat kita jadi buruk dan akhirnya rendah. Emang ada gt orang yang suka ama orang sombong?!

Kita semua sama. Baik mas2 n mbak2 OB, pemulung, pengamen, penjual asongan, supir angkot, satpam, ataupun beragam profesi lain yang sering jadi bulan-bulanan kesombongan. Jangan sombong baik secara perkataan maupun gesture. Karena kebanyakan seseorang tidak sadar bahwa bahasa tubuhnya sedang merendahkan orang lain. Gw sebagai manusia biasa juga kadang tanpa sadar merendahkan orang lain, karena secara sadar gw yakin bahwa setiap manusia itu berada pada level yang sama. Bila suatu hari kalian mendapati gw menyombongkan diri, jangan segan untuk menegur.

“Dan tidak ada orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Alloh, melainkan Alloh akan mengangkat derajatnya.”
H.R. Muslim.
Wassalamu’alaikum...

Miko
Ceger Raya, 6 Oktober 2011.