Once upon a time in Jakarta. Gw n temen gw hendak pergi ke suatu tempat, kami memutuskan untuk naik taksi. Kami naik taksi ‘burung biru’. Setelah naik teman saya menyebutkan destinasi kami. Sambil jalan, bapak supirnya bilang kalau dia ngga tau daerah tujuan yang temen gw sebutin. Seketika teman gw menghardik pak supir dengan (menurut gw) kasar. “Masa gak tau sih!!! Bla..bla...bla...” gw lupa kata2 berikutnya, tp gw inget banget klo temen gw itu ‘berlebihan’. Dan kemudian dia dengan angkuhnya membaca komik ditangannya. Tanpa rasa bersalah sekalipun. Pak supir tadi meminta maaf ama kami. Pernah liat ekspresi budak yang numpahin kuah opor ke baju Fir’aun? Nah, kira2 begitulah ekspresi bersalahnya.
Gw yang ‘shock’ dengan perlakuan temen gw cuma diem aja ngeliatin gesture temen gw yang suombongnya naudzubillah. Akhirnya temen gw ngasih tau arah dan jalan ke arah destinasi gw. Dan pak supir itupun (masih) dengan rasa bersalah mengantarkan kami.
Saat itu gw ngerti banget perasaan supirnya. Gw emang belom pernah numpahin kuah opor ke baju Fir’aun. Tapi gw pernah merasakan rasanya ‘dibawahi’ oleh orang yang ‘lebih’ dari gw. Gw juga pernah merasa tertindas.
Gw terlahir dari keluarga yang tidak berada. Gw besar di sebuah IDT, Inpres Desa Tertinggal. See? Namanya aja gak enak didengar, “desa tertinggal.” Sebuah nama yang kehinaannya berada 4 tingkat dibawah “Putri Yang Tertukar.”
Dengan mayoritas penduduknya yang bertani, kehidupan keluarga gw bisa dibilang lebih baik dari lingkungan kami. Bapak gw guru di desa tersebut. Tau gak apa nama desanya? Suka Merindu. Gw ulang. S-U-K-A M-E-R-I-N-D-U. Ini adalah nama desa paling galau yang pernah gw denger. Kebayang gak sih elo suka sama seseorang dan elo hanya bisa merindunya tanpa bisa memilikinya? Galau abeeessss!! Jadi ya wajar dong ya klo gw sekarang ...*uhuk*... suka galau. *Eaaa...*
Oke fokus!
Suatu hari, saat gw maen ama temen2 gw. Kami saling ejek satu dengan yang lainnya, biasa lah ya, anak kecil. Gw mengejek seorang temen yang tingkat ekonominya lebih kurang beruntung dr gw. Setiap dia maen, bajunya itu pasti ada bagian yang sobek, udah gitu buluk lagi. Nah, pas gw lagi ketawa-ketiwi ngejek dia, dia ngasih ‘counter attack’ yang akan gw kenang seumur hidup. “Iya sih yang orang kaya. Bajunya bagus2. Ngejek-ngejek orang gak punya.” Kira2 begitu kata-katanya. Gw langsung shock. Entah kenapa gw ngerasa super duper bersalah banget. Gw udah menghinakan seseorang, menganggap diri gw lebih baik dari orang lain. Gw cuma diem aja. Kami diem-dieman dan akhirnya bubar satu persatu.
Kejadian ini terjadi waktu gw masih kecil banget, belom masuk SD, masih imut, unyu, pokoknya gw berada di masa-masa dimana semua orang dewasa pengen nabok gw deh. Dan gw masih inget sampe sekarang. Kejadian ini mengajarkan gw untuk JANGAN PERNAH sombong/merendahkan orang lain orang lain. Walau secara kasat mata gw lebih baik darinya.
Emang gitu sih kenyataannya. Apasih yang bisa kita sombongin dari hidup? Kekayaan, ketampanan, kecerdasan, atau kedudukan? Semua itu bisa hilang dalam sekejap.
Dalam Islam, kita malah dilarang untuk sombong. Larangan yang sangat keras malah. Berikut ini hadist shahihnya,
Dari Abdullah Bin Mas’ud R.A. berkata:
“Rasululloh ‘alaihiwassalam bersabda “Tidak akan masuk ke dalam surga, seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji sawi sekalipun.”
H.R. Muslim
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, dan sombong tidak bisa menjadi bagian darinya. Sebenernya, sombong itu apa sih? Masih sambungan dari hadist diatas.
“Kesombongan itu menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain.”
H.R. Muslim
Nah, kembali ke cerita awal dan cerita gw. Dapat disimpulkan bahwa gw dan temen gw telah berbuat suatu kesombongan. (Astagfirullohhh...)
Kebetulan gw berada di lingkungan orang-orang yang tingkat ekonominya bagus. Dan diantara temen-temen gw, baik secara sadar atau tidak sadar telah berbuat suatu kesombongan terhadap manusia lainnya. Contoh waktu di kantor. Orang-orang pada ‘level gw’ kadang suka sombong (merendahkan) terhadap misalnya, OB, security, pedagang roti, atau orang-orang yang secara ekonomi berada di bawah levelnya.
Pernah suatu ketika, ada seorang ibu-ibu yang jualan bandeng presto dan lain-lain. Jangan tanya gw gimana tu ibu bisa lolos dari hadangan security di lobby, gw juga gak tau. Nah, pas ibu itu masuk ke ruangan gw, semua orang pada nyuekin gt, ibunya sama sekali gak diliat, dan belum sempet ibunya nawarin barang udah bilang “Gak bu.”
Gak kebayang klo itu nyokap gw. Gw bakal nangis berdarah-darah klo liat nyokap gw direndahkan gt. Emang apa susahnya sih bersikap sopan, tatap ibunya, senyum, dan bilang “Gak bu.” Karena menurut gw, menatap wajah ibunya dan senyum merupakan bentuk penghargaan akan keberadaannya. Giliran yang dateng orang berduit dan penampilannya parlente aja kita mau beramah-tamah. Apa sih bedanya ibu tadi dengan yang lainnya? Sama-sama manusia.
Jadi kesimpulannya. Jadi orang jangan suka merendahkan orang lain, walau secara kasat mata kita lebih baik darinya. Kita ini bangsa yang beradab dan beragama. Adab dan agama secara kompak mengajarkan bahwa kita harus saling menghargai. Merendahkan orang lain tidak akan membuat kita jadi tinggi. Malah akan membuat kita jadi buruk dan akhirnya rendah. Emang ada gt orang yang suka ama orang sombong?!
Kita semua sama. Baik mas2 n mbak2 OB, pemulung, pengamen, penjual asongan, supir angkot, satpam, ataupun beragam profesi lain yang sering jadi bulan-bulanan kesombongan. Jangan sombong baik secara perkataan maupun gesture. Karena kebanyakan seseorang tidak sadar bahwa bahasa tubuhnya sedang merendahkan orang lain. Gw sebagai manusia biasa juga kadang tanpa sadar merendahkan orang lain, karena secara sadar gw yakin bahwa setiap manusia itu berada pada level yang sama. Bila suatu hari kalian mendapati gw menyombongkan diri, jangan segan untuk menegur.
“Dan tidak ada orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Alloh, melainkan Alloh akan mengangkat derajatnya.”
H.R. Muslim.
Wassalamu’alaikum...
Miko
Ceger Raya, 6 Oktober 2011.
curhatannya menyentuh & mendidik.
BalasHapuscurhat lagi donk mah..... :D (mamah dedeh)