Kamis, 29 Maret 2012
A Close Stranger
Berawal dari twitnya @AnakPetir, kenangan gw mengangkasa ke masa lalu. Kalau bisa kembali ke masa lalu, apa yang benar-benar ingin gw ulang?
Kemudian gw teringat akan mbah kakung. Mbah yang gak pernah gw ajak ngobrol. Seorang Mbah yang tiap pagi buta, saat dunia masih berkabut, berlari-lari kecil untuk menyehatkan raganya. Mbah kakung yang rajin sekali sholatnya, yang taat ibadahnya.
Entah kenapa setiap gw liat wajah mbah, gw merasa punya chemistry dengan beliau. Gw merasa kami memiliki sudut pandang, selera, dan passion yang sama. Gw merasa melihat kepribadian gw pada diri beliau.
Sekarang pengen banget ketemu ama mbah kakung trus ngobrol tentang masa lalu beliau. Apalagi buat seorang peminat sejarah, gw seharusnya bisa mendengarkan cerita jaman perjuangan sama mbah, dan melihat bagaimana 'jaman dulu' dari mata beliau.
Waktu itu lagi liburan sekolah, seperti biasa gw menghabiskan liburan di rumah orang tua. Pada suatu hari, mamak manggil gw, katanya gw dipanggil sama mbah kakung. Aneh. Kami berdua bisa dibilang gak pernah ngobrol, kami saling menatap dengan tatapan mata 'stranger', dan tiba-tiba mbah manggil gw?
Rupanya mbah sedang berbaring di ranjangnya sambil merintih seperti sedang menahan sakit. Disitu ada mbah putri dan juga bapak. Kami berempat duduk disekeliling mbah kakung, mbah putri sedang memijat-mijat kaki mbah kakung. That awkward moment. Sepertinya mbah kakung merasa inilah 'saatnya'. Walaupun ternyata mbah berumur lebih panjang dari hari itu.
Saat itu gw sadar. Walau kami gak akrab sebagai kakek dan cucu, tapi tetap saja kami memiliki hubungan yang erat, hubungan nasab, hubungan darah. Mbah ingin di saat-saat terakhirnya, dia bisa berkumpul bersama anak cucunya dan mengucapkan semacam kata perpisahan.
Hingga suatu hari. Asisten rumah tangganya mbak jemput gw di sekolah. Gw diminta pulang. Sebagai anak SD gw sih seneng-seneng aja. Di rumah ternyata mbak lagi packing, kata mbak "Mbah Wir ninggal." Gw gak tau mesti bereaksi seperti apa. Yang gw pikirin adalah rasa senang karena akan ketemu orang tua di kampung.
Sesampainya di kampung, mbah udah dikafanin. Anak cucunya duduk di sekitarnya. Saat itu gw masih merasa biasa aja. Mungkin karena gw gak terlalu akrab dengan beliau, jadi gak merasa kehilangan. Rasa kehilangan yang datangnya sangat terlambat di kemudian hari.
Andai bisa kembali ke masa lalu, gw pengen banget ngobrol sama mbah kakung. Pengen denger cerita-ceritanya dan nasehat-nasehatnya. Pengen menatapnya dengan tatapan seorang cucu kepada kakeknya. Menyesal memang tiada berguna, tapi lebih baik daripada tidak merasakan apapun. Hanya doa yang bisa menghubungan kami. Doa yang oleh Alloh disambungkan dengan aliran darah, dengan nasab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
bersyukur mas.. masih pernah bisa ketemu ama mbah kakung. kalau saya, sama sekali belum pernah melihat beliau, kecuali dalam selembar foto. kalau mba kakung ama mbah uti dari keluarga bapak, malah belum pernah kebayang seperti gimana wajah beliau-beliau.. nice story mas..
BalasHapus